Memberi Orang Tua: Antara Kewajiban, Cinta, dan Kesepakatan Pasangan

Ada satu topik yang seringkali bikin pasangan muda agak kikuk membicarakannya: soal uang untuk orangtua. Di satu sisi, kita ingin terus berbakti kepada ayah-ibu dengan cara berbagi rezeki. Di sisi lain, ada pasangan yang kini juga jadi tanggung jawab. Jadilah dilema---berapa nominal yang ideal untuk disisihkan? Apakah harus angka tetap (saklek) setiap bulan, atau cukup rata-rata sesuai kemampuan dan kondisi?

Pertanyaan semacam ini tidak hanya menyentuh aspek finansial, tapi juga emosi, budaya, dan komunikasi dalam rumah tangga. Banyak yang mungkin menganggap sepele, padahal persoalan kecil ini bisa menjadi percikan konflik jika tidak dibicarakan sejak awal. Apakah sebelum menikah, topik ini sempat masuk daftar pembicaraan serius? Atau justru baru muncul setelah rumah tangga berjalan?

Melalui tulisan ini, saya ingin mengajak Kompasianer merenung sekaligus berbagi pengalaman. Bagaimana cara kita menjaga keseimbangan antara cinta pada orangtua dan komitmen bersama pasangan? Bagaimana kita membuat kesepakatan yang adil, tanpa ada pihak yang merasa dirugikan?

Tradisi dan Kewajiban Memberi

Dalam kultur kita, memberi kepada orangtua bukan sekadar soal uang, tapi simbol bakti dan rasa terima kasih. Sejak kecil, banyak dari kita sudah terbiasa melihat orangtua atau kerabat rutin menyisihkan sebagian penghasilan untuk orangtua mereka. Tradisi ini kemudian diwariskan secara turun-temurun, seolah menjadi bagian tak tertulis dalam "kontrak budaya" rumah tangga Indonesia.

Namun, yang sering jadi perdebatan adalah soal nominal. Ada keluarga yang terbiasa dengan angka pasti: misalnya setiap bulan Rp500 ribu atau Rp1 juta, berapapun kondisi keuangan anaknya. Prinsipnya jelas: segitu ya segitu, saklek. Di sisi lain, ada yang lebih fleksibel: besarannya bisa berubah mengikuti kebutuhan rumah tangga, kondisi pekerjaan, bahkan situasi darurat.

Keduanya punya nilai. Nominal tetap memberi rasa kepastian bagi orangtua, sedangkan fleksibel menjaga ruang bernapas bagi anak dan pasangan. Tetapi apa pun modelnya, memberi tetap dianggap tindakan moral dan spiritual---bukan sekadar transaksi finansial. Bahkan dalam perspektif agama dan etika, berbagi rezeki dengan orangtua dipandang sebagai ladang pahala dan bentuk syukur atas nikmat hidup.

Meski begitu, tradisi memberi ini seringkali berbenturan dengan realita. Biaya hidup semakin tinggi, cicilan rumah atau sekolah anak menunggu di ujung bulan, sementara harapan orangtua tetap ada. Di sinilah seni menyeimbangkan muncul: bagaimana kita tetap memegang nilai bakti, tapi juga bijak dalam menyesuaikan kemampuan.

Komunikasi dengan Pasangan

Setelah menikah, urusan memberi orangtua bukan lagi keputusan sepihak. Ada pasangan yang juga harus diajak duduk bersama. Banyak konflik rumah tangga justru muncul karena komunikasi finansial yang tidak terbuka. Misalnya, suami atau istri rutin mengirim uang ke orangtua tanpa memberi tahu, lalu pasangan merasa kecolongan. Atau sebaliknya, pasangan merasa nominal yang diberikan terlalu besar dan membebani kebutuhan rumah tangga.

Kuncinya ada pada transparansi dan empati. Transparansi artinya jelas sejak awal: berapa penghasilan, berapa yang dialokasikan untuk kebutuhan bersama, tabungan, dan untuk orangtua. Dengan begitu, tidak ada "uang misterius" yang tiba-tiba hilang dari kas rumah tangga.

Sedangkan empati berarti saling memahami. Memberi uang kepada orangtua bukan hanya soal angka, tapi juga emosi: rasa cinta, kewajiban moral, bahkan kadang ada unsur gengsi. Jika pasangan bisa memahami makna itu, ia tidak akan melihat pemberian sebagai beban, melainkan sebagai bentuk cinta keluarga yang lebih luas.

Cara paling sehat adalah menjadikan pemberian ini sebagai kesepakatan bersama. Misalnya, diputuskan setiap bulan ada pos khusus: sekian persen untuk orangtua suami, sekian persen untuk orangtua istri. Dengan begitu, tidak ada yang merasa dianaktirikan.

Tentu saja, setiap keluarga punya dinamika berbeda. Ada pasangan yang lebih longgar, ada yang sangat detail. Yang terpenting adalah jangan biarkan uang menjadi rahasia---karena di balik rahasia sering tersembunyi bom waktu.

Persiapan Sebelum Menikah

Pertanyaan yang jarang diajukan di masa taaruf atau pacaran adalah: "Nanti setelah menikah, bagaimana kalau kita memberi uang ke orangtua?" Padahal, persoalan ini sama krusialnya dengan membahas rencana tempat tinggal atau jumlah anak.

Banyak pasangan muda tidak memikirkan hal ini sebelum menikah. Alasannya sederhana: dianggap tidak penting, tabu dibicarakan, atau merasa "nanti juga bisa diatur". Akibatnya, ketika sudah berumah tangga, barulah topik ini muncul dalam bentuk konflik kecil. Misalnya, salah satu pihak kaget karena pasangan ternyata rutin mengalokasikan dana cukup besar untuk orangtuanya, sementara kebutuhan rumah tangga sedang menipis.

Namun, ada juga pasangan yang sejak awal membicarakannya dengan terbuka. Mereka menjadikan topik ini bagian dari financial planning keluarga. Hasilnya, saat sudah menikah, mereka tidak kaget karena sudah punya patokan dan komitmen.

Membicarakan hal ini sebelum menikah bukan berarti tidak percaya atau terlalu perhitungan. Justru sebaliknya, itu bentuk kedewasaan. Pernikahan bukan hanya menyatukan hati, tapi juga menyatukan dua sistem keluarga yang berbeda. Dengan diskusi di awal, pasangan bisa menyusun aturan main yang lebih adil, sehingga memberi kepada orangtua tidak menimbulkan rasa berat sebelah.

Kesepakatan Setelah Menikah

Setelah rumah tangga berjalan, realita biasanya lebih rumit daripada teori. Gaji bisa naik-turun, kebutuhan anak semakin bertambah, cicilan dan tagihan menumpuk, sementara orangtua tetap menanti uluran tangan. Di titik inilah, kesepakatan bersama pasangan menjadi kunci.

Bentuk kesepakatan pun beragam. Ada pasangan yang memilih pola bergantian: bulan ini lebih banyak ke orangtua suami, bulan depan lebih ke orangtua istri, tergantung kebutuhan mendesak. Ada juga yang menerapkan sistem bagi rata: dana khusus setiap bulan dibagi sama antara dua pihak. Sementara sebagian lain memilih model fleksibel, di mana besaran bantuan disesuaikan kondisi finansial rumah tangga saat itu.

Namun, kesepakatan ini tidak selalu mulus. Tantangannya muncul ketika salah satu merasa lebih terbebani. Misalnya, orangtua pihak A lebih sering membutuhkan biaya, sehingga pihak B merasa keluarganya "kalah prioritas". Jika komunikasi tidak jernih, bisa muncul rasa iri, tidak adil, bahkan gesekan yang berlarut-larut.

Karena itu, penting untuk terus melakukan review berkala. Sama seperti evaluasi keuangan tahunan, pasangan juga bisa meninjau ulang kesepakatan memberi orangtua. Apakah nominalnya masih relevan? Apakah perlu ada penyesuaian? Dengan cara ini, kesepakatan tidak menjadi beban, tetapi menjadi bentuk cinta yang terus dikelola bersama.

Pada akhirnya, kuncinya adalah menyadari bahwa memberi orangtua bukan sekadar transfer uang, melainkan investasi emosional dan spiritual. Orangtua merasa dihargai, pasangan merasa diajak berbagi keputusan, dan rumah tangga tetap harmonis.

Menjaga Harmoni antara Bakti dan Rumah Tangga

Memberi uang kepada orangtua setelah menikah memang bukan perkara hitung-hitungan semata. Ada nilai cinta, bakti, dan rasa tanggung jawab di dalamnya. Namun, tanpa komunikasi dan kesepakatan, hal yang mulia ini justru bisa berubah menjadi sumber ketegangan dalam rumah tangga.

Umumnya, ada berbagai cara yang dipraktikkan pasangan. Sebagian memilih nominal tetap, sebagian lain menyesuaikan kondisi. Ada yang membagi rata untuk kedua pihak orangtua, ada juga yang bergantian sesuai kebutuhan mendesak. Tidak ada rumus tunggal yang benar atau salah---semua bergantung pada kesepakatan masing-masing keluarga.

Tulisan ini lebih merupakan refleksi umum tentang bagaimana menjaga keseimbangan antara bakti pada orangtua dan keharmonisan rumah tangga. Setiap keluarga tentu punya kisah dan cara unik dalam menjalaninya.

Pada akhirnya, uang bisa dihitung, tapi nilai bakti dan cinta pada orangtua tak pernah bisa diukur hanya dengan angka. 

Sebagaimana firman Allah:

"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya..." (QS. Al-Isra' [17]: 23).

Posting Komentar untuk "Memberi Orang Tua: Antara Kewajiban, Cinta, dan Kesepakatan Pasangan"