
Pulau Sumba dikenal sebagai salah satu pulau menawan di Indonesia. Keindahan alam dan keunikan budaya masyarakatnya telah memikat banyak orang untuk datang berkunjung.
Namun di balik semua itu, Pulau Sumba juga menyimpan keganasan alam yaitu terbatasnya air bersih. Krisis air bersih selalu mengiringi kisah hidup masyarakat Sumba.
Pulau Sumba, sebagai salah satu pulau yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mempunyai kondisi alam yang terbatas dalam hal potensi sumber daya air.
Secara geologis, Pulau Sumba adalah pulau kapur yang masih berusia muda, dataran yang terangkat ribuan tahun lalu dari dalam laut. Dataran Sumba ini didominasi oleh rangkaian pegunungan dan bukit-bukit kapur yang curam dan terjal.
Pulau Sumba ini secara topografis memiliki ketinggian beragam dari dataran rendah hingga dataran tinggi (800 m dpl). Dataran tertinggi yang ada di Pulau Sumba yaitu Gunung Wanggameti (1225 m dpl). Tapi gunung ini bukanlah gunung vulkanik yang berapi. Sehingga tanah Sumba tidak subur.
Pulau Sumba, khususnya Kabupaten Sumba Timur dikenal sebagai salah satu daerah yang paling kering. Curah hujan di Sumba Timur termasuk yang paling kecil bila dibandingkan dengan seluruh daerah di Indonesia.
Dari referensi Badan Pusat Statistik (BPS) NTT, rata-rata volume curah hujan tahunan berkisar 1000 mm. Musim hujan pun berlangsung sebentar saja, hanya selama 3 bulan. Jumlah hari hujan per tahun yang tercatat hanya sekitar 70 hari saja. Selama 9 bulan adalah musim kemarau. Air betul-betul menjadi barang yang langka.
Hidup dengan air bersih yang serba terbatas, menjadi pengalaman berharga buat saya ketika berkesempatan tinggal di Sumba Timur selama kurang lebih 4 minggu pada Tahun 2013 lampau. Walau sudah lama, namun pengalaman tersebut masih membekas hingga kini.
Selama 2 minggu, saya tinggal di pedalaman Sumba Timur dan 2 minggu di Kota Waingapu, ibu kota Kabupaten Sumba Timur. Saat itu, saya berkesempatan melakukan penelitian kesehatan ibu dan anak. Dan selama 2 minggu di pedalaman itu, saya mencatatkan rekor dunia dalam kehidupan saya selama ini yaitu badan sama sekali tidak bersentuhan dengan air.
Krisis Air
Pulau Sumba, sebagai salah satu pulau yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mempunyai kondisi alam yang berat dalam hal potensi sumber daya air. Pulau Sumba, khususnya Kabupaten Sumba Timur dikenal sebagai salah satu daerah yang paling kering.
Kombinasi alam yang kering dengan musim kemarau yang panjang, membuat air menjadi sesuatu yang sulit didapat di Pulau Sumba, juga Sumba Timur. Sumber-sumber air alami di desa-desa pedalaman Sumba adalah mata-mata air, embung dan sungai-sungai kecil.
Semua sumber air itu berada di lembah dan kaki bukit. Sementara itu, secara tradisi pemukiman masyarakat selalu berada di atas bukit. Sehingga, masyarakat untuk mendapatkan air bersih harus berjalan kaki menuruni dan menyisir lereng-lereng bukit.
Jaraknya jauh dari pemukiman. Rata-rata jaraknya itu berkisar antara 5 hingga 15 km. Berbagai anggota masyarakat, mulai dari anak-anak, remaja hingga orang dewasa harus bersusah payah turun ke lembah untuk mengambil air bersih di embung. Mereka membawanya ke dalam jerigen-jerigen kecil dan juga ember kecil.
Selama musim kemarau, debit air di sumber-sumber air tersebut menyusut bahkan banyak mengalami kekeringan. Jangankan untuk mandi, kebutuhan air untuk minum dan memasak makanan saja sangat terbatas.
Warga desa banyak yang menggali lubang-lubang kecil di dasar badan sungai yang kering. Namun, hasilnya seringkali sedikit. Hanya rembesan air yang merembes kecil. Mereka menunggu berjam-jam hingga akhirnya lubang galian itu bisa cukup mengisi jerigen untuk dibawa pulang.
Saat pulang, mereka harus menenteng jerigen berat berisi isi. Ada yang membawanya di atas kepala. Perjalanan pulang sangat melelahkan karena harus mendaki lereng bukit. Mereka tiba kembali di kampung itu sekitar jam 9 malam.
Akibat krisis air bersih ini, kehidupan masyarakat pun terdampak. Salah satu yang paling parah yaitu adanya gangguan kesehatan karena masalah kebersihan yaitu jarang mandi untuk membersihkan badan.
Ketika meneliti kesehatan ibu dan anak, saya seringkali mendapati anak-anak balita yang mengalami gangguan kesehatan seperti diare dan penyakit cacingan. Dampak lebih jauh, si anak mengalami stunting karena kurangnya air bersih dan terbatasnya makanan yang layak.
Makanan yang layak menjadi terbatas karena seringnya gagal panen akibat kekeringan yang berkepanjangan. Ketersediaan pangan menjadi sedikit. Harga jual pangan pun melonjak mahal. Biaya hidup pun menjadi meningkat.
Upaya Menyediakan Air
Dalam rangka mengatasi kekurangan air bersih, banyak upaya yang telah dilakukan. Secara alami, sejak lama masyarakat Sumba mencari air bersih dengan menggali lubang-lubang di badan sungai yang mengering. Hal ini sebagai upaya Merdeka Krisis Air Bersih.
Selain itu, membuat embung-embung (kolam-kolam kecil) untuk menampung air hujan. Lokasi-lokasi embung itu berada di dataran bawah, dekat lembah dan kaki bukit. Kadang air yang didapat pun, keruh dan berwarna coklat. Tidak bening.
Semua upaya tersebut, kini dilengkapi dengan bantuan dari pemerintah dan juga lembaga swadaya masyarakat (LSM). Bantuan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan air bersih biasanya dengan mengirim mobil-mobil tanki air ke desa-desa. Dan ada juga mobil-mobil tanki air yang secara komersial khusus dijual ke masyarakat.
Dan ternyata, untuk mendapatkan air dari mobil-mobil tanki air tersebut, warga desa harus mengeluarkan uang untuk membeli air per jerigen. Satu mobil tanki berisi 5000 liter air. Kapasitasnya kadang tidak memenuhi kebutuhan air bersih semua warga desa.
Harga per satu mobil tanki air bersih itu berkisar antara Rp 300.000 hingga Rp 500.000. Setiap jerigen ukuran sedang yang harus dibayar, rata-rata Rp 5000. Masyarakat harus mengeluarkan banyak uang untuk membeli air bersih. Padahal mayoritas warga desa tersebut dikategorikan masyarakat tidak mampu.
Bantuan lainnya berasal dari LSM. Mereka umumnya mayoritas memberikan bantuan berupa toren-toren air besar. Toren-toren itu untuk memanen air hujan adalah dengan cara menampungnya. Tujuannya agar kebutuhan air bersih tetap tersedia di musim kemarau nanti.
Setiap rumah, menampung air hujan dengan cara mengalirkan talang air hujan dari atap rumah langsung ke toren air. Ukuran toren airnya besar-besar, mulai dari 1000 liter hingga 2500 liter.
Selain itu, ada juga LSM yang memberikan bantuan dengan pembuatan sumur bor dan pemipaaan. Namun bantuan ini sangat mahal dari segi pembuatan dan perawatannya.
Sumur-sumur itu dibor dekat mata air dan badan sungai. Lalu dibangun pipa-pipa air ke atas hingga ke pemukiman. Lalu air itu nanti akan disedot hingga ke atas.
Pada saat saya berada di sana, kondisi sumur bor dan pipa airnya sudah terbengkalai. Karena LSM yang memberikan bantuan tersebut sudah selesai programnya. Sayang sekali, sumur bor dan pipa nya tidak ada yang melanjutkan dalam hal perawatan.
Selain itu, ada juga bantuan pompa-pompa air. Namun pompa-pompa air tersebut lokasinya tetap jauh dari pemukiman yang berada di atas bukit. Dan kadang pompa air itu saat musim kemarau, sama sekali tidak mengeluarkan air.
Rorak, kearifan lokal dalam pemanenan air hujan
Hal yang menarik terkait penyediaan air ini adalah peninggalan leluhur masyarakat Sumba yang dikenal dengan "Rorak." Rorak ini adalah sebuah bangunan.
Rorak ini menjadi kearifan lokal masyarakat Sumba dalam beradaptasi hidup di lingkungan yang sulit air. Bangunan Rorak ini dibuat dengan tujuan untuk menampung air hujan demi kebutuhan air minum ternak (sapi, kuda dan kambing).
Karena ternak di masyarakat Sumba ini masih berkeliaran bebas di area terbuka di perbukitan, maka ternak-ternak tersebut harus dipenuhi kebutuhan air minumnya. Maka dibangunlah Rorak.
Rorak ini berupa saluran air buntu dengan ukuran tertentu yang dibuat pada lahan untuk menangkap air hujan dan juga aliran air di permukaan tanah. Ukuran Rorak ini, panjangnya bervariasi antara 1 hingga 5 meter, lebarnya 50 cm dan dalamnya 60 cm.
Adaptasi Hidup di Saat Kurang Air
Salah satu bentuk adaptasi hidup masyarakat Sumba saat krisis air bersih adalah dengan cara menghemat penggunaan air. Prioritas penggunaan air hanya untuk minum dan kebutuhan memasak.
Untuk kebutuhan mandi membersihkan badan, tidak dilakukan setiap hari. Tapi berdasar kebutuhan saja. Demikian juga halnya, untuk mencuci pakaian kotor.
Selama 2 minggu tinggal di pedalaman, saya menginap di rumah bidan desa dan kepala dusun. Saat itu saya tinggal di Desa Mbatahu Pahu Kecamatan Haharu selama seminggu. Dan seminggu kemudian di Desa Katikuwai Kecamatan Matawai Lapau.
Di rumah yang saya tinggali, terdapat toren besar berukuran 2500 liter yang telah penuh dengan air hujan. Setiap rumah sudah siap sedia menghadapi kekurangan air bersih di musim kemarau nanti.
Walau air sudah ditampung, masyarakat tidak menggunakannya. Mereka memilih menggunakan air dengan cara mendapatkannya dari embung-embung air.
Sebetulnya, saya diberikan akses untuk menggunakan air yang ada di toren. Namun saya tidak mau menggunakannya. Saya tidak tega.
Sebelum pergi ke desa-desa ini, dari Waingapu saya dan rekan kerja sudah membeli banyak botol-botol air kemasan. Tapi penggunaanya diprioritaskan untuk kebutuhan minum. Karena nanti saat di desa, saya akan banyak berjalan kaki untuk berkunjung ke rumah-rumah warga.
Jadi botol air tersebut, khusus untuk minum saat haus di perjalanan saat berjalan kaki. Apa saya pernah tergoda menggunakan air tersebut untuk mandi? Sejujurnya, iya.
Tapi saya bertahan. Botol Air tersebut khusus untuk minum. Lalu selama 2 minggu, badan saya tidak menyentuh air. Untuk berwudhu pun, bertayamum.
Untungnya selama 2 minggu tidak mandi, badan saya tidak bau. Malah wangi. Ya itu karena saya menggunakan tisu basah untuk membersihkan badan saya. Walau tanpa air, tubuh saya tetap bersih.
Warga desa pun tetap Merdeka Krisis Air Bersih.
Posting Komentar untuk "Dua Minggu Tidak Mandi, Cerita Menghemat Air di Pedalaman Sumba"